Selasa, 30 November 2010

Bisa jadi kisah Siti Hajar dan anaknya Ismail as merupakan bagian dari kisah tragika yang membangkitkan kesadaran diri kita akan suatu nilai dalam kehidupan.  Faktanya kisah itu terus-menerus menginspirasi jutaan manusia di sepanjang sejarahnya. Bulan ini jutaan manusia, dari berbagai penjuru yang jauh (fajjun ‘amiq) datang ke tempat yang paling dimuliakan, Makkah al-Mukarramah. Mereka tengah menangkap makna kisah itu dan berusaha menghayatinya secara empirik demi memperkuat religuitas untuk kepentingan perjalanan spiritual mereka.
Ketika itu terik padang pasir menguras peluh siapa pun yang berjalan apa lagi yang berlari. Siti Hajar menggendong anaknya yang masih menyusui erat-erat sambil berjalan cepat mengikuti Nabi Ibrahim yang membawa mereka ke satu tempat yang belum sepenuhnya dimengerti oleh sang ibu. Dan, Ibrahim kemudian meninggalkan keduanya di tempat itu, di sisi ka’bah, di sekitar padang pasir yang luas, di kelilingi bukit-bukit batu yang keras. Tidak ada seorang pun yg tinggal di sekitarnya. Tiada air dan tiada pula orang yg menemaninya selain Ismail as yang selalu didekapnya.
Nabi Ibrahm as, sang ayah, hanya menyediakan satu kantong berisi kurma dan satu bejana berisi air buat anak dan isterinya. Kemudian ia pergi meninggalkan mereka di tempat yang ternyata kemudian menjadi pusat peradaban tauhid itu.
”Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Nabi Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), “Janganlah kami memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’dan sujud.” (QS, al-Hajj [22]: 26)
Rasa dan naluri keibuan Siti Hajar benar-benar berontak ketika ia mendapati suaminya akan meninggalkan dirinya bersama anaknya di tempat yang lengang itu. Ia lalu mengejar Ibrahim dan membiarkan Ismail meronta-ronta dan menangis dalam bungkusan sehelai kain.
Siti Hajar berteriak, “Wahai Ibrahim ke mana engkau akan pergi? Dan engkau tinggalkan kami di lembah yang sepi, tidak ada tetangga, dan tidak tersedia apa- apa.” Siti Hajar terus mengulang-ulang teriakannya. Suaranya memantul-mantul di dinding-dinding bukit batu. Lalu ditelan kesepian padang pasir. Sementara, di langit sana, ribuan Malaikat mengepakkan sayapnya, mengalunkan tasbih dan tahmid, memuji kebesaran Allah swt, menyambut peristiwa yang paling mengharukan itu.
Gema dan pantulan teriakan Siti Hajar serta riuh rendah suara tasbih dan tahmid di langit sana, mengusik Nabi Ibrahim as untuk membalikkan badan dan menoleh ke Istrinya. Di hadapan isteri yang dicintainya Ibrahim pun merunduk tafakkur. Dan sang isteri menatapinya dengan ekspresi meminta kepastian. Keheningan pun menghentikan sementara desir angin padang pasir, suara-suara gema, dan riuh rendah tasbih dan tahmid seakan-akan semuanya menanti apa yang akan ditanyakan selanjutnya oleh seorang ibu dan isteri kepada suami yang dicintainya.
Dengan ekspresi memohohon kepastian, Siti Hajar berkata, “Apakah Allah swt yang memerintahkan hal ini kepadamu wahai suamiku.?” Ibrahim as menjawab singkat seraya menatap isterinya dengan penuh kepastian, “Ya, benar”. Siti Hajar kemudian berkata dengan penuh kepastian pula, “Kalau begitu, Allah swt pasti tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Ketika itulah angin padang pasir berdesir kembali seraya mengeluarkan bunyi yang asing, suara-suara gema memantulkan bunyinya lebih mengharukan, dan suara riuh tasbih dan tahmid menjadi gemuruh memenuhi angkasa. Semuanya seolah-olah mengamini apa yang dikatakannya dengan penuh keriangan. Siti Hajar pun berbalik dan meninggalkan suami tercintanya dengan kerelaan dan kepastian, kembali menemui anaknya. Siti Hajar memandangi suaminya sampai jauh hingga akhirnya tak tampak lagi.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim as melanjutkan perjalanannya. Ketika ia sampai di sebuah bukit, di mana istri dan anaknya sudah tak melihatnya lagi, ia menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a :
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang di hormati. Ya Tuhan kami (yg demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki mereka dari buah2an,dan mudah2an mereka bersyukur.” (QS, Ibrahim [14]: 37)
Sementara itu Siti Hajar tetap menyusui anaknya dan minum sisa air pemberian suaminya. Namun, ketika air yang ada dalam bejana itu telah habis, dan ia ia merasa haus serta anaknya menjadi kehausan pula, ketika itulah sesungguhnya drama kemanusiaan sedang berproses seolah-olah menjadi tragika.
Sebagai seorang ibu, ia merasa iba melihat anaknya yang kehausan, meronta-ronta karena ingin minum. Kemudian ia meninggalkannya dan pergi mencari air. Ia naik ke bukit yang kemudian diberi nama Shafa’ itu, sebuah bukit yang terdekat dengan tempat Ismail diletakkan.  Dari atas bukit kedua matanya mengapu lembah-lembah yang mengelilinginya dengan harapan akan tampak mata air. Akan tetapi ia tidak melihatnya sama sekali.
Kemudian ia turun dari bukit Shafa dan terus berlari-lari menuju satu bukit yang kemudian disebut Marwah. Ia berdiri di atas bukit itu dan mengarahkan pandangannya ke sekelilingnya dengan harapan dapat menemukan mata air. Akan tetapi tidak menemukannya juga. Secara dramatik, Siti Hajar terus berlari-lari antara bukti Shafa dan Marwah sampai 7 kali.
Ketika Hajar berada di bukit Marwa untuk yang ke 7 kalinya, ia mendengar suara yang menakjubkan itu. Ia menoleh ke arah suara yang berbunyi, “Tenanglah”. Siti Hajar sejenak tertegun dan tafakkur mendengar suara yang ditujukan kepada dirinya. Dengan seksama ia menyimak suara itu dan terdengarnya kembali. Lalu ia  berteriak ke arah suara yang menenteramkan jiwanya itu, “Suaramu telah terdengar. Apakah engkau membawa setetes air? Tolonglah kami!”
Dikisahkan, Malaikat menghampiri Ismail yang sedang menangis kehausan. Lalu  menggerak-gerakkan tanah dekat tumit Ismail as di dekat zamzam sehingga keluarlah air yang memancar. Rasa gembira membuncah di hati Siti Hajar melihat peristiwa yang menakjubkan itu. Ia lalu berusaha untuk menampung dengan tangannya dan mengisikannya ke dalam bejana pemberian suaminya itu. Dan mata air itu terus memancarkan airnya dengan derasnya. Dan Malaikat itu kemudian berkata kepadanya, “Jangan khawatir di sia2kan, karena sesungguhnya di sini ada Baitullah yang akan di bangun oleh anak ini dan bapaknya. Dan Allah tidak akan menyia2kan kekasihNya.”
Sesungguhnya segmen perjalanan anak manusia yang dialami Siti Hajar adalah cermin kesetiaan seorang ibu terhadap titah Tuhannya. Kesetiaan itulah yang memancar pada kesejatiannya sebagai ibu dan sebagai isteri yang ditandai dengan kasih sayang dan ketulusan. Masihkah ada Siti Hajar lain di dunia yang ingar bingar dengan kebencian dan kecurigaan ini?

ust.ilham

Sabtu, 30 Oktober 2010

Cerita di Balik Bukit Senja


Cerita di Balik Bukit Senja

Senja itu telah berlalu, tetapi Dinda masih berada di sana, menunggu sosok yang selama ini dia rindukan. Ia pandangi bukit senja itu, namun tak jua ia dapati apa yang ia tunggu-tunggu. Hingga senja merambat tua, ia belum juga beranjak, ia masih berdiri dan mematung. Bahkan sepertinya ia tidak mendengar seruan dari balik surau di bawah lereng bukit itu, sebuah seruan agar segera menunaikan kewajiban pada-Nya.
“Dinda, jangan berdiri di sana terus, ayo kita ke mushola.” Ajak seorang perempuan renta yang ia panggil nenek.
“Iya, nek.” Jawabnya singkat. Lalu ia berlari menyusuri lereng bukit yang berumput hijau itu. Sebuah tempat favorit Dinda untuk menanti senja tiba. Kini ia telah tiba di mushola mungil yang hanya ada beberapa orang saja yang bertandang ke sana.
Ia berusaha untuk tetap khusyuk di setiap sujudnya, namun di sujudnya yang terakhir, ia dapati potret wajah ibunya yang sedang tersenyum di balik jilbab putihnya. Kemudian ia bangkit dari sujudnya, dan yang ia dapati adalah tetesan bening yang mengalir dari sudut matanya.
Setiap kali ia menyelesaikan salam terakhirnya, ia selalu memanjatkan doa kepada Tuhan untuk ibunya yang telah membesarkannya sendirian tanpa seorang ayah, agar Dia selalu melindunginya, dan memberinya kesembuhan. Sudah dua tahun ibunya tergolek di dipan tanpa bisa bergerak, dan hanya sesekali ibunya berbaring di lantai saat ia merasa sudah letih berbaring di atas dipan. Dinda dan ibunya hanya hidup berdua saja, mereka tidak memiliki kerabat dekat selain tetangganya yang selalu dipanggil nenek oleh Dinda. Tetangganya itu tinggal tepat di belakang rumah Dinda. Hanya Dindalah yang kini merawat dan menjaga ibunya.




“Sudah makan, Din?” Tanya ibunya.
“Belum, bu,” Jawab gadis berusia sepuluh tahun itu.
“Kenapa?” Tanya ibunya lagi.
“Dinda mau puasa siang dan malam, agar Tuhan cepat mengembalikan ayah ke sisi kita.” Jawabnya polos. Sedang sang ibu hanya bisa menahan air mata.
Jika dibandingkan dengan gelandangan di luaran sana, mereka masih dibilang cukup beruntung, karena mereka masih memiliki rumah untuk berteduh dari panas dan hujan. Walaupun hanya nasi yang terbuat dari ubi yang mereka makan, namun setidaknya bisa mengganjal perut yang keroncongan. Ibunya yang lumpuh tidak bisa berbuat apa-apa, dan Dinda yang masih terlalu kecil harus bekerja keras mencari sesuap nasi demi mengisi perut mereka.
***
Pagi ini Dinda berangkat sekolah. Ia bersekolah dengan biaya beasiswa prestasi dari sekolahnya, jika tidak demikian maka bisa dipastikan ia tidak bisa bersekolah lagi. Sebelum berangkat, ia selalu menyelesaikan tugasnya memandikan dan memberi ibunya sarapan pagi terlebih dahulu, sering sekali Dinda harus terlambat ke sekolah karena jarak rumahnya dan sekolah cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki.

“Assalamu’alaikum.” Ucap Dinda setelah berada di depan pintu kelasnya.
“Wa’alaikumsalam, silahkan masuk, Din.” Kata gurunya yang sudah memulai pelajaran matematika.

 Beruntung semua guru yang mengajarnya memahami kondisinya selama ini. Dia yang hanya hidup berdua dengan ibunya yang lumpuh, dan dia yang hidup tanpa seorang ayah, patut dikasihani. Mungkin karena alasan itu pula setiap awal bulan, sebagian guru-gurunya memberinya sumbangan, berbagai macam bentuknya, ada yang memberinya uang dan ada juga yang memberinya beras.
Pelajaran bahasa Indonesia masih teringat oleh Dinda ketika ia berjalan dengan lunglai menuju rumahnya. Ia masih teringat pelajarannya tadi yang menceritakan tentang sebuah keluarga, keluarga yang lengkap dan harmonis tentunya. Ia berjalan tertunduk sambil memandangi rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin.

“Sudah pulang, Din?” Tanya ibunya.
“Ya…!” Jawabnya singkat sambil beranjak ke kamarnya. Lama sekali ia berkurung di kamarnya, sampai sore hari barulah ia menemui ibunya.
“Bu, ke mana ayah Dinda?” Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Ibunya tercengang mendengar pertanyaan anaknya.
“Ayah sedang pergi merantau, nak.” Jawab ibunya lirih. “Mungkin sore ini atau besok ia akan pulang,” lanjut ibunya lagi. Padahal ia sendiri tau bahwa suaminya itu tidak akan pernah pulang, tidak hari ini, besok, ataupun lusa.

Kali ini, Dinda telah berada kembali di bukit senja miliknya di belakang rumah.  Untuk menuggu ayahnya yang akan turun dari kereta api yang melintas di jalan bawah bukit tempatnya berdiri. Setiap hari ia mendatangi bukit itu untuk menuggu kedatangan lelaki yang hanya ia kenal melalui cerita-cerita ibunya, walau tak pernah ia dapati ayahnya turun, namun ia selalu melakukannya. Selama ia menjalani hari-harinya dengan hayalan ayahnya akan kembali pulang.
“Ayaaah…!” Teriaknya tiba-tiba saat melihat sesosok laki-laki turun dengan menggendong tas ransel berwarna hitam.

Ia berlari menuruni bukit dengan cepat. Sebuah bukit yang menjadi saksi bisu saat ibunya tergelincir jatuh karena berlari mengejar bayang-bayang lelaki bertas ransel hitam, persis yang dilihat oleh Dinda. Saat itu ibunya sedang mengandung Dinda, dan usia kandungannya itu memasuki bulan ke sembilan, sesuai dengan bulan di mana ayah Dinda meninggalkannya pergi untuk merantau.
Dinda terus berlari menyusuri jalanan yang sedikit berbatu, tanpa alas kaki yang melindunginya dari tajamnya kerikil. Sesampainya ia di jalan raya, yang ia dapati hanyalah segerombolan kambing gembala yang sedang digiring oleh penggembalanya. Ia tak melihat sosok yang ia teriaki ayah tadi. Ia juga tak menemukan sisa-sisa bayangan lelaki itu.
Akhirnya ia pulang dengan gontai. Ibunya masih tergeletak di atas dipan yang beralaskan tikar pandan, ia pamitan kepada ibunya hendak ke mushola bersama nenek sebelah rumahnya, ia lihat ibunya masih terbaring lemah di sana.

“Mungkin ibu sedang shalat maghrib.” Pikirnya. Lalu ia keluar dan melangkah ke Mushala untuk mengaji. Lama Dinda berada di Mushala mungil itu. Sampai shalat isya’ tiba, ia menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu baru pulang.
Hari gelap karena hujan akan turun sepertinya, ia percepat langkah kakinya, hingga nenek yang setia menemaninya ia tinggalkannya di belakang. Ia nampak begitu tergesa, ada perasaan aneh menelusup di dadanya tiba-tiba. Pe-rasaan tidak enak terhadap ibunya.
“Buu..!” Panggilnya setelah sampai di rumah. Namun rumahnya tampak sunyi. Tidak ada jawaban dari ibunya.
“Ibu…!” Panggilnya sekali lagi sambil mencari ibunya di kamarnya. Namun ternyata ibunya tidak berada di sana. Ia lari ke dapur,  ibunya juga tidak ada.
“Ke mana ibu?” Tanyanya dalam hati dengan cemas.

Kemudian ia berlari ke sumur yang berada di belakang rumahnya, ternyata ia dapati ibunya berada di sana dengan keadaan tersungkur. Dan ketika ia balikkan badan ibunya yang kurus itu, ia lihat wajahnya pucat. Kemudian ia pegang denyut nadinya, ternyata sudah tidak terasa lagi. Di bawah langit gelap karena mendung hitam, lafaz Innalillahi itu terucap dari mulut mungil seorang anak yang berusia sepuluh tahun.***

Minggu, 17 Oktober 2010

Biografi Kyai Asrory Al ishaqi

Biografi Kyai Asrory Al ishaqi

SURABAYA - Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) berduka. Salah satu ulamanya yang bergiat di bidang thoriqoh, KH Asrori Al Ishaqi, Selasa (18/8) dinihari meninggal dunia. Dia dikenal sebagai pemimpin Pondok Assalafi Al Fithrah, di Jalan Kedinding Surabaya
”Beliau kiai karismatik dan istikamah menjaga amalan warga NU di bidang tasawwuf dengan bergiat di thoriqoh,” kata Rois Syuriah PWNU Jatim, KH Miftakhul Akhyar di Surabaya, kemarin
Meninggalnya Kiai Asrori sungguh mengagetkan,mengingat usia kiai thoriqoh ini belumlah terlalu tua. Yang bersangkutan dipanggil Yang Maha Kuasa di usia 58 tahun. Kepergiaannya untuk menghadap Sang Khalik membuat ribuan jamaahnya merasakan duka mendalam dan meneteskan air mata. Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di komplek pondoknya, umat Islam menyemut dan melantunkan kalimah thoyyibah.
Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim, dan Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Di antaranya karangan bunga dari Presiden SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya. Gubernur Soekarwo juga bertakziah ke rumah duka di kawasan Kedinding Surabaya.
Siapa KH Asrori Al Ishaqi? Yang bersangkutan dikenal sebagai kiai NU yang istikomah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran kiai melalui kanal thoriqoh. Kiai Asrori tak tergerus dalam gerakan kemasyarakatan di ranah politik praktis sebelum maupun pascareformasi.
Jamaah thoriqoh terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam konteks memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad SAW. ”Fatwa dan pandangannya sangat dihormati serta dipatuhi umat. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau. Dunia thoriqoh terus digeluti dan dijalankan dengan istikomah. Itu salah satu amalan penting NU dan menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya,” tambah Kiai Miftakhul.



Menyatukan umat lewat Thoriqoh

Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur.
Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari berbagai penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari Ponpes Al Fithrah Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur Tengah.
Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya.



Uswah khasanah
Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.


















Keturunan Rasulullah ke-38

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut silsilahnya
 :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.










Baiat thariqah

Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.















Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah

Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara. [mu’is]























Anak KH Utsman Al ishaqi

Kiai Asrori adalah anak KH Utsman. Aktivitas thoriqoh dijalaninya sepeninggal ayahnya yang juga dikenal sebagai mursyid thoriqoh. Thoriqoh yang dipimpin Kiai Asrori tak terkait dengan kekuatan politik mana pun.
Seperti ditulis dalam disertasi (S3) Machmud Sujuthi (mantan Kepala Kanwil Depag Jatim) yang diterbitkan tahun 2001, pada buku berjudul ”Politik Tharekat”, disebutkan bahwa thoriqoh yang berpusat di Kedinding Surabaya di bawah pimpinan KH Utsman tak berafiliasi dengan kekuatan politik mana pun.
Dalam buku Machmud Sujuthi itu dikatakan bahwa setelah KH Mustain Romli menyatakan merapat dan mendukung Golkar pascapemilu 1971, terjadi pembelahan dunia thoriqoh di lingkungan NU. Ada jamaah thoriqoh Rejoso yang berpusat di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang, dengan tokoh utama KH Mustain Romli dan dekat dengan Golkar.
Di sisi lain, ada thoriqoh Cukir yang berpusat di Pondok Tebuireng Jombang di bawah pimpinan KH Adlan Ali yang lebih dekat kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Thoriqoh Kedinding—istilah di mana pondok KH Utsman dan KH Asrori berlokasi—berada di antara 2 titik thoriqoh yang berbau politik itu. Jamaah Kiai Asrori itu netral secara politik. Tak ada hubungan kultural dan struktural dengan partai mana pun.
”Amalan thoriqoh Kiai Asrori itu sanad-nya sampai Syech Abdul Qodir Jaelani,”jelasKiaiMiftakhul.
Meninggalnya Kiai Asrori merupakan kehilangan besar bagi jamaah thoriqoh di
Indonesia dan mancanegara. Selain 1.800 santri yang menetap di Pondok Al Fithrah di Kedinding, hakikatnya Kiai Asrori memiliki jutaan umat dan jamaah setia di Indonesia dan banyak negara lain. Jamaah yang dipimpin Kiai Asrori tersebar hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Australia, dan banyak negara lain.
Pada acara pemakaman kemarin, banyak di antara jamaah hanyut dalam suasana duka. Mereka melantunkan doa, tahlil, surat yasin, dan bacaan thoyyibah di masjid areal ponpes. Maklum, Kiai Asrori dikenal sebagai pimpinan Thoriqoh Qodiriyyah Wannaqsabandiyah Al Utsmaniyah.
Direktur Pendidikan Pondok Al Fithrah, Wisnubroto menyatakan, Kiai Asrori meninggalkan seorang istri, Hj Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien, dan Siela Assabarina.

Kiai Asrori meninggal sekitar pukul 02.00. Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai 16 Agustus 2009, sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Kiai Asrori mengidap kanker dan komplikasi penyakit lainnya.
Di usia berapa Kiai Asrori meninggal dunia? Berdasar pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, Kiai Asrori memiliki 3 paspor dengan tanggal lahir berbeda. Tapi, diperkirakan yang bersangkutan lahir pada 17 Agustus 1951.(G14-62)
















Suara Merdeka/Antara

RIBUAN orang menangis histeris. Ini terjadi ketika jenazah Hadratus Syekh KH Ahmad Asrori Al-Ishaqi dimasukkan ke liang lahat, kemarin. Kiai dengan wajah sejuk itu dikenal sebagai imam dan guru Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah Al-Usmaniyah yang sedang digandrungi jamaah. Kehadirannya dalam setiap majelis dzikir selalu diharapkan. Doa yang dipanjatkan selalu ditunggu jutaan jamaah Tarekat di seluruh Indonesia, bahkan sampai Singapura, Malaysia, Brunei dan Thailand.
Kiai Asrori -demikian ia biasa dipanggil–kemarin dini hari menghembuskan nafas terakhir. Penyakit kanker yang menghinggapi tubuhnya sejak tiga tahun lalu menyebabkan ia harus menyerah ke Sang Khalik. Jenazah pimpinan Pondok Pesantren Al Fitrah, Kedinding, Surabaya ini dimakamkan di kompleks pondoknya sekitar pukul 11.00 WIB. Meski sudah sakit lama, namun mening­galkan kiai kharismatis ini tetap saja mengagetkan para santrinya.
Saya mengenal pimpinan tertinggi tarekat ini sudah sejak lama. Bahkan, namanya selalu disebut-sebut ayah saya yang memang juga penganut tarekat ini. Namun, baru mengenal secara pribadi setelah diperkenalkan KH Imam Sughrowadi saat berlangsung manaqib dan zikir kubro di pondok pesantrennya di Blitar, tahun 2005. Setelah itu, beberapa kali saya mengikuti pertemuan khusus dengan para santri setiap habis salat Jumat di kediamannya.
Mengapa para jamaah begitu kehilang­an kiai kharismatis ini? Selain ia adalah imam tertinggi thariqah yang memiliki jamaah terbesar di Indonesia ini, Kiai Asrori juga sangat mencintai jamaahnya. Ini ditunjukkan ketika berlangsung dikir akbar dalam rangka Hari Jadi Kota Surabaya ke 714, tiga tahun lalu. Seperti diketahui, sejak tahun 2006, di Balaikota Surabaya selalu digelar zikir akbar yang dipimpin Kiai Asrori. Ini menjadi tradisi puncak kegiatan hari jadi sejak tahun itu.
Nah, memasuki tahun kedua, Kiai Asrori mulai menderita sakit kanker darah. Beberapa hari menjelang acara berlangsung, ia harus masuk rumah sakit. Maka, zikir akbar di balai kota itu pun terancam berlangsung tanpa keberadaan Kiai Asrori. Sebagai antisipasi, panitia menyiapkan jalur khusus kursi roda menuju panggung utama untuknya. Baru pagi hari menjelang acara berlangsung, didapat kepastian Kiai akan hadir di majelis zikir tersebut.
Seorang santri dekatnya bilang, ketika itu Kiai memutuskan untuk hadir kare­na kasihan sama jamaah. “Mereka itu datang dari berbagai kota ingin melihat wajah saya, ingin mengamini doa saya. Karena itu, meski bagaimana pun saya harus datang agar mereka tidak kecewa,” katanya seperti ditirukan santri tersebut. Akhirnya, Kiai Asrori hadir di majelis itu dengan memakai kursi roda dan infus di tangan.
Begitu selesai berdoa, kiai pamit pulang. “Mohon maaf, saya sudah tidak kuat. Saya mohon pamit dulu untuk beristirahat,” katanya dengan berbisik kepada saya. Kehadiran kiai di majelis zikir dalam keadaan sakit itu membuat puluhan ribu jamaah yang hadir menangis. Saat itu, saya melihat Menkominfo Prof Dr Mohammad Nuh yang hadir dan sejumlah habaib serta para santri terdekatnya menyeka air mata. Belakangan, Kiai Asrori juga seirng menghadiri acara zikir meski masih dalam keadaan sakit.
Dalam haul Akbar terakhir di Ponpes Alfitrah Kedinding bulan lalu, Kiai Asrori juga memimpin sendiri doanya. Hanya saja, tabung alat bantu pernafasan selalu tersedia di sampingnya. Tampaknya, haul bulan lalu itu merupakan haul pamitan beliau kepada para jamaahnya. Setelah itu, sakit beliau semakin parah. Beberapa jam menjelang subuh kemarin, kanker darah telah mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya dalam usia 52 tahun.
Acara haul tahunan ini dihadiri ratusan ribu jamaah dari berbagai kota dan luar negeri. Para jamaah biasanya ditampung di rumah-rumah di sekitar pondok. Untuk makan para jamaah, juga disiapkan ratusan ribu bungkus nasi. Di antaranya juga merupakan sumbangan para warga di sekitar pondok. Pada haul ter­akhir kemarin, hadir ulama besar dari Makkah, Habib Umar Al-Jaelani.
Dia adalah cucu Syekh Abdul Qadir Jaelani, ulama yang menjadi panutan pa­ra penganut tarekat. Dalam setiap haul, kisah hidup ulama yang dipercaya sebagai wali Allah ini dibacakan. Kisah itu dikenal dengan kitab Manaqib. Manaqib ini dibaca bersamaan dengan salawat dan kisah-kisah Nabi Muhammad.
Kiai Asrori lahir di Surabaya, 17 Agustus 1957. Ini berarti meninggal sehari se­telah ulang tahunnya ke 52 kemarin. Dia adalah putra kiai besar di wilayah Surabaya utara, KH Usman Al-Ishaqi. Ayahnya juga seorang mursyid tarekat. Setelah menikahi Ibu Nyai Muthia Setiyawati, Kiai Asrori dikaruniai tiga orang putra dan dua orang putri. Putra terbesarnya kini masih studi di perguruan tinggi.
Kiai Asrori meninggalkan kita semua dalam usia yang relatif masih muda. Namun, ia telah berhasil menjadi panutan dari jutaan jamaah tarekat di berbagai nusantara dan negara-negara lainnya. Akankah lahir kiai pengganti beliau yang bisa menjadi penutan kita semua?Sungguh Kiai, kami pasti akan rindu dengan fatwa-fatwa dan wajah sejukmu.
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al- Bukhori radliyallahu anhu (717-865 H) .
Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khaniy dalam bukunya Al-Hada’iq Al-Wardiyyah, bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat yang mulia radlallahu anhum sesuai aslinya, tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus) ibadah lahir bathin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah yang agung  serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukhshah dalam segala keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah Subhanahu wa ta’ala, mengikuti Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan segala yang beliau sabdakan dan  memperbanyak dzikir qalbi.
Dzikirnya para guru Naqsyabandiyah adalah qalbiyah (menggunakan Hati). Dengan itu mereka bertujuan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata dengan tanpa riya’, dan mereka tidak mengatakan suatu perkataan dan tidak membaca suatu wirid  kecuali dengan dalil  atau sanad dari kitab Allah Subhanahu wa ta’ala  atau  sunnah Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh Musthofa bin Abu Bakar Ghiyasuddin An-Naqsyabandiy menyatakan dalam risalahnya Ath Thoriqoh An-Naqsabandiyah Thoriqoh Muhammadiyah, bahwa thoriqoh ini memiliki tiga marhalah (tingkatan);
1.      Hendaklah anggota badan kita berhias dengan dzahirnya syari’ah Muhammadiyah.
2.      Hendaklah jiwa- jiwa kita bersih dari nafsu- nafsu yang hina, yaitu hasad, thama’, riya, nifaq, dan ‘ujub pada diri sendiri. Karena hal itu merupakan  sifat yang paling buruk dan karenanya iblis mendapatkan  laknat.
3.      Berteman dengan shadikin (orang-orang yang berhati jujur)
Thoriqoh Naqsyabandiyah ini mempunyai banyak cabang aliran thoriqoh di Mesir.
Pendiri (mu’assis) Thoriqoh Qodiriyah adalah Wali agung Sayyid Syaikh Abdul Qodir bin Musa Al-Jilany radliallahu anhu (470-561H). Jalur nasab ayahnya sampai pada Sayidina Hasan, sedang ibunya  sampai pada Sayidina Husain.
Beliau telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh dan prinsip-prinsip yang benar untuk thoriqohnya yang agung  dalam kitabnya Al-Ghaniyah li Tholibii Thoriqil-Haq dan kitabnya Al-Fath Ar-Rabbani wal Faidl Ar-Rahmaniy.
Disamping itu beliau juga perintahkan pada muridnya untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu wa ta’ala pada malam hari, siang hari dan setelah shalat lima waktu,agar dapat wushul kepada-Nya.






Diantara nasehat-nasehatnya yang terkenal antara lain:
“Janganlah seseorang menghukumi syirik, kufur atau nifaq kepada satu orang pun  dari ahli qiblat (orang yang melaksanakan shalat). Karena hal itu tidak akan  mendekatkan pada sifat  kasih sayang  dan tidak akan meninggikan derajat, justru akan menjauhkan  diri dari merasuknya ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak akan menjauhkan nya dari murka Allah dan tidak pula mendekatkan pada ridla Allah dan rahmatNya.
Perbaikilah akhlaq, karena ia adalah pintu keagungan dan kemuliaan di sisi Allah, yang akan menyebabkan seorang hamba bersikap kasih sayang  kepada makhluk semuanya.”
“Belajarlah fiqh, dan ‘uzlahlah.”
“Amal shaleh adalah  perkerjaan yang hanya bisa dikerjakan oleh orang yang bisa srawung (bergaul) dengan Allah dengan kejujuran.”
“Hakekat syukur adalah pengakuan  bahwa semua kenikmatan yang dialami datangnya dari Sang Pemberi Nikmat , yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala .”
Thoriqoh Qodiriyah ini penganutnya tersebar meluas di Iraq, Mesir, Sudan, Libya, Tunisia, Al-Jazair, Daratan Afrika, dan juga Indonesia.













HIJAB HIQMAH AL QUR’AN

 

Hiqmah Al-Qur’an atau kearifan (keadilan) adalah  suatu keseimbangan sempurna antara Ilmu dan Amal yang terhijab atau bertiraikan kabut vertikalitas, karena hijab itu sendiri merupakan sesuatu yang tersembunyi antara diri manusia dengan Al’Zat (Allah), walaupun dikatakan di dalam Al-Qur’an bahwa
Artinya :
“ Dan Kami lebih dekat dari urat lehernya”(QS. 50 : 16).
Hiqmah Al-Qur’an akan selalu tertutupi oleh Hijab Al-Izzah (tirai keAgungan) yang akan menyebabkan sang pecinta menjadi buta dan bingung karena menyembunyikan esensi yang berada diluar jangkauan segala sesuatu kecuali diri-Nya sendiri, karena tirai ini memiliki Haybah (ketakjuban), yang penuh dalam diri sang hamba ketika dihadapkan pada kemutlakan Allah semata.
Tirai (hijab) Al-Izzah di dalam hiqmah Al-Qur’an ini tidak lain adalah  Hakikat Nabi Muhammad SAW. Hiqmah Al-Qur’an sangat berkaitan erat dengan keadilan (adl) dan memiliki makna  menempatkan segala sesuatu pada tempat semestinya dengan melakukan suatu perbuatan atau berbuat sesuatu sesuai dengan waktunya. Oleh karena itu, kidung-kidung keAgungan Yang Maha Esa akan menuntun sang hamba (Abd) memuji Nabi Saw sebagai manusia sempurna, logos, makhluk Tuhan pertama, tempat DIA mengkontemplasikan seluruh ciptaan-Nya dan memberlakukan seluruh peraturan-peraturan-Nya.
Hal ini memungkinkan “sang hamba (Abd)” mencurahkan diri sepenuhnya dalam mempelajari dan memahami Hijab Hiqmah Al-Qur’an yang sebenarnya bersembunyi di semesta alam dan di diri manusia itu sendiri, juga memastikan Nabi Saw yang berperan sebagai Al-Huda (penunjuk jalan) sama sekali bukanlah seorang ahli bid’ah melainkan seorang yang telah melakukan perjalanan menuju ke Yang Maha Esa. Satu-satunya perjalanan yang pantas dilakukan dalam kehidupan yang fana ini”.
“Hijab Hiqmah Al-Qur’an adalah suatu bentuk lahiriah yang tersurat (shurah) dari sesuatu yang menutupi makna batiniah yang tersirat dari Al-Qur’an itu sendiri (ma’na)”.
(Sayyid Faridhal Attros Al-Kindhy Al-Asy’Ari)

Dalam tahap-tahap awal perjalanan manusia menuju sumber spiritualnya maka ia akan bertindak sebagai penempuh jalan spiritual (salik) yang terhijab oleh aspek lahiriah eksistensi dari aspek batiniahnya.
Dan ini merupakan suatu perjalanan spiritual yang mengandung kebenaran metafisik terdalam sekaligus menghasilkan buah dari pohon makrifat, sebuah perjalanan yang titik omeganya terkandung didalam alpa efik mistiknya.
Dalam tahap-tahap pertengahan yang didominasi oleh kemabukan spiritual (sukr), dia akan terhijab oleh aspek-aspek batiniahnya dari aspek lahiriahnya, sehingga “saki abadi” akan menetes jatuh ke bumi yang menyebabkan seluruh penduduk bumi berada dalam keadaan agitasi dan ekstase dalam memandang suatu keindahan yang telah terlepas dari hijab dan kungkungan duniawi yang serba terbatas.
Kemabukan spiritual (sukr) dalam tahap pertengahan ini telah menyiratkan gambaran yang sangat mendalam dan halus mengenai berbagai pertanyaan yang dihadapi oleh penduduk bumi yang benar-benar menempuh jalan spiritual dengan mendominasi “sukr” (kemabukan spiritual). Untuk menggali suatu hiqmah yang tersirat di dalam kitab suci Al-Qur’an diatas jalan realisasi spiritual.
Dalam tahap terakhir, ketika ketakmabukan spiritual (sahw) menguasai, maka aspek-aspek batiniah maupun lahiriah tidak manabiri dirinya dari kehadiran Tuhan yang dilihatnya dimana-mana.
Dalam tahapan ini sang penempuh jalan spiritual telah diberi kesempatan untuk mengungkapkan dirinya dalam selubung cahaya hiqmah Al-Qur’an sehingga menghasilkan transformasi jiwa serta perasaan-perasaannya dalam suatu cara yang tidak mungkin dihasilkan oleh usaha logis semata.
Para penempuh jalan spiritual (salik) ini dirinya akan merasa terheran (hayrah) dan kagum, karena telah menemukan Tuhan yang telah lama bersemayam diqalbunya sendiri “.
(Sayyid Faridhal Attros Al-Kindhy Al-Asy’Ari)
Dalam menemukan Tuhan Yang Maha Agung, merekapun menyadari dan mengetahui bahwa DIA Maha Gaib dan tidak dapat dilihat (diketahui). Namun setiap saat mereka selalu dibukakan hijab pada pengetahuan baru tentang Allah Ta’ala. Ketika keselarasan (tanasub) ini mendominasi pikiran dan jiwa penempuh jalan spiritual (salik) didalam Al-Qur’an sendiri telah dikatakan :
Artinya :
“DIA tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang DIA dapat melihat segala yang kelihatan, dan DIA-lah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui “. (QS. 6 : 103)
Para penempuh jalan spiritual (salik) akan merindukan asal mereka dikediaman surgawi karena jiwa mereka memiliki saya  p betapapun rapuhnya untuk dapat terbang menuju hadirat Tuhan.
Kehidupan (hayah), para salik ini adalah pertumbuhan dan perkembangan jiwa mereka yang menempuh perjalanan dari kegelapan menuju cahaya, dari kejahilan menuju pengetahuan, dan dari kematian menuju kehidupan (hayah).
Ini berarti merupakan keutamaan pengalaman spiritual dan mistikal sang persatuan bagi para penempuh jalan spiritual, yang sesungguhnya merupakan satu-satunya perjalanan, dan akhirnya terbukalah hijab antara yang dzahir dan yang batin (yang tersurat maupun yang tersirat) dari Hiqmah Al-Qur’an, dan akhirnya mencapai tujuan yang mereka inginkan walau dengan berbagai penderitaan serta ketakberdayaan pengembaraannya telah diselamatkan semata-mata oleh karunia dan kasih ilahi rabbi.
Dan akhir dari perjalanan spiritual para salik mampu memasuki istana sang raja surgawi dengan melintasi bagian luar tingkatan inisiatik paling tinggi yang memungkinkan diri mereka lebur dan muncul dalam subsistensi diri.
Dan dengan cara pandang mereka (para salik) dari akibat telah dapat membuka Hijab Hiqmah Al-Qur’an mereka tidak hanya menikmati keindahan kehadiran-Nya, tetapi juga melihat diri mereka sendiri sebagaimana adanya, yang terpantul dalam diri yang tak lain adalah diri dari setiap diri.
Dari setiap diri para salik yang telah dapat membuka Hijab Hiqmah Al-Qur’an akan memiliki suatu keyakinan yang hakiki (Haqq Al-Yaqqin)”.
(Sayyid Faridhal Attros Al-Kindhy Al-Asy’Ari)
Keyakinan Hakiki terdiri dari tiga tahapan,
1.       Ilm Al-Yaqin (ilmu keyakinan),
2.       Ayn Al-Yaqin (penyaksian keyakinan), dan
3.       Haqq Al-Yaqin (keyakinan yang hakiki).
Penerimaan akan rumusan suci dari ketiga tahapan, keyakinan para penempuh jalan spiritual (salik) ini, bergantung dari kewibawaan spiritual para salik itu sendiri  yang dalam hal ini dapat terjadi ketika dipraktikan dalam kondisi tradisional yang kental dan keselarasan (tanasub) serta irama qalbu yang mengiringinya.
“Sesungguhnya sebuah keyakinan akan dapat dipandang sebagai suatu perpanjangan praktik spiritual yang fundamental jika keyakinan itu sendiri tidak  terlepas dari Al’fitrah yang hakiki pula.”
(Sayyid Faridhal Attros Al-Kindhy Al-Asy’Ari)
Oleh karenanya dengan tinjauan tiga tahapan keyakinan ini, maka keyakinan hakiki bisa diibaratkan seperti terbakar habis oleh api yang menyala setelah melewati dua tahapan sebelumnya, yakni  Ilm Al-Yaqin (hanya mendengar gambaran tentang api) dan Ayn Al-Yaqin (benar-benar melihat nyalanya api).
Haqq Al-Yaqin (keyakinan yang hakiki) merupakan tahapan terakhir dalam kenaikan (mi’raj) menuju Tuhan Yang Maha Agung sebelum mencapai hijab yang membuka hiqmah Al-Qur’an – Al-Kariim dan sebelum mencapai Islam yang Hakiki.















Beberapa tingkatan Hijab Hiqmah Al-Qur’an

Tingkatan – tingkatan Hijab Hiqmah dalam Al-Qur’an merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kandungan isi Al-Qur’an, sehingga memantulkan pencerminan suatu hubungan dengan dimensi esoteris dan spiritualitas Islam dalam membentuk sebuah lingkungan Islami dengan prinsip – prinsip religius dan spiritual yang tertanam pada materi, yang mengelilingi manusia dalam kehidupan kesehariannya, serta mempunyai pengaruh yang sangat mendalam pada sikap pikiran dan jiwa kaum muslim.
Disamping Hijab Al-Izzah (Tirai KeAgungan), sebenarnya masih banyak lagi Hijab – Hijab lainnya yang selalu melingkupi dan menaungi bathin dari kitab suci Al-Qur’an. Seperti : Hijab Al-Ghayrah (Tirai Kecemburuan), dimana kecemburuan seorang hamba (abd) diarahkan untuk melampaui batas kemanusiaannya (Al-Fithrah) dalam mengungkapkan rahasia – rahasia lahiriah dan bathiniah Al-Qur’an, untuk mencapai kebenaran yang Hakiki dalam pemahamannya akan kesucian Al-Qur’an itu sendiri.
Dengan demikian, Sang Hamba (Abd) akan selalu berusaha melakukan sanggahan – sanggahan terhadap pemikiran orang – orang yang meragukan atau mengingkari keberadaan dan kemurnian Al-Qur’an, yang langsung diturunkan oleh Yang Esa kepada Muhammad Rasulullah SAW melalui perantara Malaikat Jibril AS. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :
Artinya :
“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al Qur’an) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Qur’an itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Qur’an. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur’an itu. Sesungguhnya (Al Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim, (yaitu) orang-orang yang menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan menghendaki (supaya) jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang-orang yang tidak percaya akan adanya hari akhirat. Orang-orang itu tidak mampu menghalang-halangi Allah untuk (mengazab mereka) di bumi ini, dan sekali-kali tidak adalah bagi mereka penolong selain Allah. Siksaan itu dilipat gandakan kepada mereka. Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran) dan mereka selalu tidak dapat melihat(nya). Mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, dan lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan. Pasti mereka itu di akhirat menjadi orang-orang yang paling merugi.” (QS. 11 : 17 s.d 22)
Manifestasi dari nama – nama Allah merupakan bagian dari pengetahuan Allah Ta’ala sendiri. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan, bahwa segala yang mawjud akan selalu merefleksikan nama – nama Allah, baik itu disadari maupun tidak disadari oleh seorang Hamba (Abd). Dalam tingkatan ini, ia akan mencapai suatu kesadaran tertentu tentang kesucian Al-Qur’an, yang ketika dibaca akan membantu dirinya dalam melakukan hakikat realitas penerbangan dan pendakian untuk melawan seluruh hal yang merendahkan derajat serta menurunkan kekuatan dunia ini.
Sehingga memungkinkan diri Sang Hamba (Abd) mendapatkan dinding – dinding spiritual pada setiap kali ia membaca kitab suci Al-Qur’an, yang akhirnya mengantar dirinya pada kebebasan dari kungkungan duniawi yang serba terbatas dan fana itu, juga memastikan bahwa Sang Hamba (Abd) sama sekali bukan seorang ahli bid’ah, melainkan seorang yang telah berhasil melakukan pendekatan kepada yang Maha Esa. Dan ini merupakan satu – satunya pendekatan yang pantas dilakukan dalam kehidupan yang fana ini. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an (QS. 17 : 45 s.d. 48)
Hijab Hiqmah Al-Qur’an tingkat 5 adalah Hijab Al-Aql, yakni Tirai Intelektual (penalaran). Pada tingkatan ini seorang Hamba (Abd) akan memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kesempurnaan dan keragaman esistensi manusia sebagai cara untuk mengungkapkan  tahap – tahap akhir dalam kenaikan (mi’rajnya) menuju Allah SWT  melalui pemahaman dan pendalaman akan isi kandungan bathin Al-Qur’an. Sehingga memungkinkan Sang Hamba (Abd) memperoleh secara langsung karakter religius dari kitab suci Al-Qur’an  melalui pendekatan empiris dan sekaligus merupakan suatu bukti yang solid akan realitas dunia ruh serta dunia yang transenden.
Kenaikan (mi’raj) menuju Allah dari Sang Hamba (Abd) ini, akan melalui cinta (Isyq), kerinduan (Syawq) dan ketakjuban (Hayrah), sehingga dirinya selalu berada di hadapan Tuhan. Didalam Tuhan dan bersama Tuhan. Oleh karenanya, seorang Hamba (Abd) yang tengah membaca kitab suci Al-Qur’an ia akan tenggelam dalam ekstase spiritual dan mengalami keadaan meditasi diluar meditasi.
Seseorang Hamba (Abd) pada tahap tingkatan ini (Hijab Al-Aql) harus benar – benar menyerahkan seluruh jiwanya kepada Tuhan, agar terbebas dari hawa nafsu. Dan hal ini tentu saja tidak akan tercapai kecuali dengan tekad yang paling kuat menuju Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang (Al-Rahmanu-Al-Rahiimu) untuk mendapatkan cahaya kedamaian sebagaimana yang diperoleh dari kesucian dan keikhlasan ibadah, serta keyakinan diri yang mutlak akan isi Al-Qur’an dengan secara utuh.


Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :
Artinya :
“Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah) (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Qur’an itu terbagi-bagi Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu. Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS 15 : 90 s.d. 94).
Tingkatan ke 6 dalam Hijab Hiqmah Al-Qur’an adalah : Hijab Al-Jamal (Tirai Keindahan) yang merupakan kunci pembuka khazanah kebenaran Ilahi atas suatu keindahan yang meliputi sifat Rahmat dan Kemurahan (Al-Thaf) dari kehadiran Ilahi. Dalam tingkatan ini (Hijab Al-Jamal), hati (Qalb) seorang Hamba (Abd) akan diliputi oleh keindahan (Jamal) dan keakraban (Uns) dirinya dengan Allah Ta’ala, ketika ia lebur dalam isi kandungan bathin Al-Qur’an . sehingga memungkinkan diri Sang Hamba (Abd) akan ditampakkan ribuan kehalusan (Latha’if) dalam hidup dan kehidupannya.
Hijab Al-Jamal (Tirai Keindahan) akan membantu seorang Hamba (Abd) memahami dirinya dan menyuarakan misteri – misteri keindahan bersamanya, serta membuatnya mampu mendengarkan percakapan cinta Ilahi. Sehingga pada saat dirinya terpesona dalam penyaksian spiritual melalui keindahan inilah, seolah dirinya mampu mendengarkan Agungnya kata-kata dari langit barakah dalam dimensi ruh rasional. Dan ia akan tenggelam dalam keindahan Tuhan.
Pada dasarnya, tingkatan Hijab Al-Jamal (Tirai Keindahan) ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri seorang Hamba (Abd), hingga membuat dirinya lebur (Fana) dalam subsistensi. Namun, ketika pembacaan ayat – ayat suci Al-Qur’an mengalir melalui lisannya, maka peleburan (Fana) subsistensi dirinya akan mengalami perubahan dan menjadi suatu ketenangan, yang akan mengantarkannya kedalam rahasia dibalik Alam yang tak terlihat.
Sehingga tidak akan ada lagi keraguan dan pengingkaran didalam hati (Qalb) serta fikiran (Fikr)nya tentang isi kandungan bathin Al-Qur’an yang memiliki kemuliaan itu. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Qur’an ketika Al Qur’an itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu itu selain apa yang sesungguhnya telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelum kamu. Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mempunyai ampunan dan hukuman yang pedih. Dan jikalau Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?” Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh.”  (QS. 41 : 40 s.d. 44)
Tingkat ke 7 atau terakhir dalam Hijab Hiqmah Al-Qur’an adalah : Hijab Al-Muhaqqiqin (Tirai Kaum Penegas Kebenaran) adalah merupakan salah satu aspek yang sangat esensial dalam hubungannya dengan spiritualitas Islam, karena mereka (Kaum Penegas Kebenaran) merupakan golongan para wali Allah yang memiliki tingkatan tertinggi diantara para wali Allah lainnya (wali Abdal).
Oleh sebab itu, Tirai Al-Muhaqqiqin (Tirai Kaum Penegas Kebenaran) dapatlah dikatakan sebagai gema panggilan Tuhan kepada Manusia untuk kembali kepada-Nya. Dan juga sebagai sarana bagi manusia untuk kembali ke sumber spiritualnya.
Para Kaum Penegas Kebenaran, dalam Hijab Hiqmah Al-Qur’an memiliki prinsip tersendiri untuk membenarkan (tahaqqiq) dan menyadari (tahaqquq) segala sesuatu memiliki kebenaran (al-Haqq) dan hakikat (al-Haqiqah). Begitu pula halnya pemahaman mereka terhadap kitab suci Al-Qur’an yang mereka dapatkan atau mereka peroleh dari eksistensi dan kekuatan yang memberi  mereka kehidupan.
Hal ini dikarenakan, bagi mereka Al-Qur’an merupakan rambu jalan (Thariqah) dalam menuju Allah SWT. Dan hanya orang – orang yang tulus ikhlas saja, yang dapat melaksanakan disiplin spiritual untuk dapat melintasi jalan (Thariqah) itu.
Sementara, untuk yang lainnya, mereka akan meremehkan jalan (Thariqah) yang tidak akan mereka ikuti, karena menafikan atau mengingkari sesuatu yang benar (Al-Haqq) dari berbagai karunia Allah Ta’ala. Sehingga memungkinkan para Kaum Penegas Kebenaran (Al-Muhaqqiqin) membuka selubung dunia spiritual.
Namun, karena mereka tinggal didunia bentuk (Material), dan pada awal perjalanan spiritualnya tidak terlepas dari diri mereka, maka dengan menggunakan dunia bentuk sedemikian rupa, Tirai Hijab Hiqmah Al-Qur’an inilah yang akan dapat membawa mereka melintasi horison esoterisme untuk mengekspresikan Rahasia Perjanjian Primordial (Al-Fithrah) antara Tuhan dan Manusia (Asrar’i – Al-Ast), sehingga tidak ada keraguan dihati mereka untuk meyakini dan membenarkan serta menjalani ketentuan – ketentuan yang terdapat dalam rukun Iman, dengan hati yang Ikhlas karena Allah SWT semata.
Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman :
Artinya :
“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. 2 : 285)
Terdapat hubungan yang Khas antara spiritualitas Islam dan Hijab Hiqmah Al-Qur’an, yakni : sebuah hubungan yang muncul dari pemikiran tentang keEsaan dan intelektual (Al-Aql) pada satu sisi dan nature primordial dari spiritualitas Islam pada sisi lainnya.
Namun, yang perlu ditegaskan disini adalah, bahwa Hijab Hiqmah Al-Qur’an, yang sebagian besar berasal dari sumber – sumber klasik yang dapat berintegrasi dengan esoterisme spiritualisme Islam, yang akhirnya menjadi sarana untuk menciptakan rasa kesucian melalui pembacaan ayat – ayat suci Al-Qur’an. Sehingga memungkinkan seorang muslim lebur (Fana) dalam subsistensi diri, dan memunculkan pemikiran religius melalui suatu keyakinan yang hakiki, bahwa Al-Qur’an itu bukanlah sekadar bacaan biasa.













SILSILAH THORIQOH QODIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH


Secara bersinambung

41. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
40. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
39. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy At Tamimimiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
38. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso
Bertalqin dan berbai’at dari :
37. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Hasbullaah Madura
Bertalqin dan berbai’at dari :
36. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
35. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
34. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Murod
Bertalqin dan berbai’at dari :
33. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah
Bertalqin dan berbai’at dari :
32. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
31. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Utsman
Bertalqin dan berbai’at dari :
30. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym
Bertalqin dan berbai’at dari :
29. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar
Bertalqin dan berbai’at dari :
28. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Yahya
Bertalqin dan berbai’at dari :
27. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
26. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
25. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
24. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
23. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
22. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
21. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki
Bertalqin dan berbai’at dari :
20. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz
Bertalqin dan berbai’at dari :
19. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al Jiylani
Bertalqin dan berbai’at dari :
18. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al Mubarrok
Bertalqin dan berbai’at dari :
17. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al Hakariy
Bertalqin dan berbai’at dari :
16. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Faraj Al Thurthusiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
15. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al Tamimi
Bertalqin dan berbai’at dari :
14. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As Shibliy
Bertalqin dan berbai’at dari :
13. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al Baqhdadiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
12. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi
Bertalqin dan berbai’at dari :
11. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al Karkhi
Bertalqin dan berbai’at dari :
10. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo
Bertalqin dan berbai’at dari :
9. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym
Bertalqin dan berbai’at dari :
8. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq
Bertalqin dan berbai’at dari :
7. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Imam Muhammad Baqir
Bertalqin dan berbai’at dari :
6. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
5. Al Arif Billaah Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anhu
Bertalqin dan berbai’at dari :
4. Al Arif Billaah Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhahu
Bertalqin dan berbai’at dari :
Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan Allaah kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
3. RosuulullaaHh Muhammad SAW
Bertalqin dan berbai’at dari :
2. Sayyidina Jibril Alaihis-salam
Bertalqin dan berbai’at dari :
1. Allah SWT

New Search