Minggu, 26 Februari 2012

Menjaga Amanah Allah SWT

Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Sebab-sebab turunnya ayat ini ada beberapa versi, antara lain riwayat dari Al-Kalbi, bahwa Abu Lubabah Bin Abdul Mundzir diutus oleh Nabi SAW pada Bani Quraidzah (sebuah suku Yahudi Madinah yang telah melanggar perjanjian waktu perang Khandak), sebab dia selama ini adalah sahabat baik dari suku tersebut. Dia juga menitipkan harta dan anak-anaknya pada Bani Quraidzah.

Setelah bertemu dengan para pemuka Yahudi itu, dia sampaikan usulan Nabi SAW agar mereka menyerah pada Sa’ad bin Mu’adz yang diperintah Nabi SAW untuk menangani kasus mereka. Lalu pemuka Yahudi bertanya, “Jika mereka turun, apa kira-kira hukuman yang dijatuhkan pada mereka”. Lalu dengan tidak pikir panjang Abu Lubabah menggesekkan tangan ke lehernya, mengisyaratkan akan dibunuh semua. Kelancangan Abu Lubabah itulah yang ditegur oleh ayat di atas.

Setelah turun ayat ini, rasulullah SAW memanggil isteri Abu Lubabah dan bertanya, “Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan shaum dan shalat. Dan adakah dia mandi junub setelah bersetubuh?” Isterinya menjawab, “Dia shaum, shalat dan mandi junub, bahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Nabi bertanya demikian, karena meragukan keimanannya, sehingga isterinya ditanya ditanya tentang kehidupannya, apakah dia Islam atau munafiq. Isterinya menjawab pasti bahwa dia shaum, shalat dan setelah bersetubuh dia tetap mandi junub. Ini menunjukkan keimanannya baik. Tapi ia telah berkhianat, lancang dan membuka rahasia, yang merupakan perbuatan orang munafiq.

Abu Lubabah memang bukan orang munafiq, tetapi karena kelancangannya dia telah dicap sebagai penghianat. Setelah turun ayat ini, Abu Lubabah merasa sangat menyesal, sebab Allah sendiri telah menuduhnya sebagai pengkhianat, kemudian dia segera bertaubat.

Menurut riwayat Qotadah dan Az-Zuhri, taubatnya itu lain sekali. Dia bersumpah untuk tidak makan dan minum, sampai diberi ampun oleh Allah. Kemudian dia mengikatkan diri di tonggak masjid sampai sembilan hari, tidak makan dan tidak minum sampai jatuh pingsan.

Setelah Allah menerima taubatnya, beberapa orang datang memberitahu bahwa Allah telah menerima taubatnya dan mereka hendak melepas ikatannya. Tetapi Abu Lubabah bersumpah bahwa dia tidak mau dilepas kecuali oleh Rasulullah SAW. Beliau pun melepas ikatannya. Setelah bebas Abu Lubabah berkata, “Ya Rasulullah, saya bernadzar untuk mensedekahkan seluruh harta saya”. Beliau menjawah, “Jangan semuanya, cukup sepertiga saja”.

Walaupun ayat ini turun mengenai Abu Lubabah, tetapi maksudnya umum. Ayat ini menjadi peringatan keras bagi umat Islam untuk teguh dan setia dalam memegang amanat. Tak ada artinya shalat, puasa taat beribadah apabila seseorang tidak setia kepada amanah.

Kata amanah mempunyai akar kata yang sama dengan kata iman dan aman, sehingga mukmin berarti beriman dan mendatangkan keamanan, juga memberi dan menerima amanah.

Oleh para ulama amanat itu dibagi menjadi 3 (tiga) :

1. Amanat manusia pada dirinya sendiri.

Menurut Ar-razi, termasuk dalam hal ini adalah amanat dalam memilih yang baik bagi dirinya untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Termasuk menuntut ilmu, bermata pencaharian, tidak menganggur, menjaga kesehatan, berobat kalau sakit, menjaga diri dari penyakit menular dan segala hal yang merusak tubuh.

2. Amanat terhadap sesama manusia.

Termasuk menyampaikan kiriman pada yang berhak, menyimpan titipan sampai yang punya datang meminta, menyimpan rahasia, menjaga hubungan silaturahim, mentaati undang-undang, memelihara keamanan rakyat dan sebagainya.

3. Amanat manusia dari Tuhannya.

Amanat inilah yang disinggung dalam firman Allah. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikulnya dan merasa berat, dan dipikul amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan bodoh”. (QS. Al-Hasyr: 72)

Menurut Al-Qaffal, ayat ini hanya perumpamaan, yang ditekankan di sini ialah perhatian kita terhadap amanat yang Allah letakkan di atas pundak manusia.

Al-Qurtubi menyalin dalam tafsirnya, “Ini adalah kata majaz atau kiasan. Langit, bumi dan gunung-gunung merasa berat memikul (apalagi manusia), sebab itulah manusia hendaknya berhati-hati”.

Ada beberapa pendapat ulama tentang maksud amanah pada ayat tersebut, yaitu : Agama, hal-hal yang difardlukan, batas-batas yang ditentukan oleh Allah, taat kepada Allah, shalat, puasa, wanita yang diamanati menjaga kehormatannya, dan mandi janabat.

Mengomentari pendapat-pendapat ini, Ibnu Katsir berkata, “Semua pendapat ini tidak bertentangan satu sama lain, bahkan semua kembali pada satu titik persamaan bahwa amanat ialah semua pembebanan hukum, dan menerima beban itu dengan melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan dengan segala konsekuensinya. Jika ia melaksanakan beban itu, diberi pahala dan ganjaran, sebaliknya, jika ia tinggalkan, ia akan dihukum dan disiksa”.

Dalam kehidupan sehari-hari, amanat Allah kepada manusia itu antara lain :

1. Ilmu pengetahuan yang Allah berikan pada manusia. Amanah berupa ilmu ini harus kita tunaikan dengan mengamalkan dan mengajarkannya pada orang lain. Rasulullah SAW mengecam keras orang yang berkhianat dalam hal ilmu tersebut. Dalam sebuah hadits beliau bersabda : “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu pengetahuan, lalu menyembunyikannya, niscaya dia akan dikekang di hari kiamat dengan kekangan yang terbuat dari api neraka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)

2. Pekerjaan atau usaha tempat kita mencari rizki adalah amanat Allah yang harus ditunaikan dan dipelihara sebaik-baiknya dengan menepati waktu dan menjaga kejujuran. Jadi menyia-nyiakan waktu dalam tugas kerja ialah khianat. Begitu juga korupsi, menyalahgunakan jabatan, manipulasi data dan sebagainya adalah khianat. Kalau semua pegawai jujur di dalam menunaikan amanat mereka, pastilah suatu bangsa akan maju pesat dan rencana pembangunan akan berjalan lancar sehingga target yang telah ditentukan akan mudah tercapai.

3. Isteri atau suami adalah amanat Allah, oleh karena itu masing-masing harus memelihara satu sama lain. Suami harus memelihara hak-hak isteri, seperti memberinya nafkah dan membimbing agamanya. Sebaliknya isteri harus memelihara hak-hak suami, seperti mentaati dan melayani sebaik-baiknya.

4. Anak yang telah dikaruniakan Allah pada kita adalah amanat. Untuk memelihara amanat ini orangtua harus menunaikan hak-hak anak dengan sebaik-baiknya. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab, “Engkau baguskan nama dan pendidikannya, lalu kau tempatkan ia di tempat yang baik”.

5. Harta, rumah, pakaian dan semua yang Allah izinkan untuk kita adalah amanah. Semuanya harus kita tunaikan haknya dengan dikeluarkan sedekah dan zakatnya serta kita rawat dan pelihara dengan baik.

Apabila semua amanah tersebut kita tunaikan maka kita akan memperoleh kekayaan rohani yang tak ternilai banyaknya.

Rasulullah SAW bersabda :
“Empat perkara yang jika engkau pelihara baik-baik, kayalah engkau walaupun banyak kemegahan dunia yang tidak engkau capai, yaitu: Memelihara amanat; Berkata jujur; Perangai yang baik; Mengendalikan kerakusan makan.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr)

New Search