Rabu, 14 Desember 2011

Cahaya Langit Dan Bumi

Siapapun akan mengatakan bahwa dalam kegelapan kita sangat membutuhkan "penerang", dian atau pelita. Dalam gelap-gulita: ketika bintang-gemintang berkilauan, sang purnama muncul dengan sinarnya merupakan nikmat besar bagi para nelayan di tengah laut. Bukan hanya menambah keindahan alam semesta, juga menandakan bahwa Allah mengerti kebutuhan hamba-Nya: kegelapan itu harus diberi penerang.

"Atau seperti gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak: yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap-gulita yang tindih-bertindih, apabila ia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya. Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun." (Qs. An-Nur [24]: 40).

Tidak dapat dibayangkan seandainya jalan-raya (di malam hari) tidak dihiasi oleh rambu-rambu lalu-lintas. Apa yang bakal terjadi? Apalagi mobil yang dikemudikan sang sopir tidak memiliki lampu. Apa yang akan dirasakan olehnya? Rasa takut segera muncul, menghantui batinnya. Jangan-jangan ada yang "menabrak" dari belakang. Atau, ada yang "menyerempet" dari samping. Itu adalah "cahaya" di dunia. Cahaya temporal: tidak kekal dan tidak abadi. Karena bahannya juga serba temporal, tidak abadi.

Ada cahaya yang abadi, Allah. Allah adalah "cahaya langit dan bumi". Dia sendiri yang menyatakan dalam kitab suci-Nya:

"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya laksana lampion (misykat) yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, (dan) kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur juga tidak di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Qs. An-Nur [24]: 35).

Itulah Allah. "Sang Cahaya". Cahaya yang menerangi jagat raya: langit dan bumi beserta isinya. Tidak ada satupun yang tidak mendapat pancaran cahaya-Nya. Tumbuh-tumbuhan, hewan, apalagi manusia: makhluk yang paling butuh kepada cahaya-Nya.

Dalam rongga dada manusia terdapat 'segumpal darah', hati. Hati itu begitu gelap, hati jahiliyah. Hati yang tidak mengenal Tuhan Yang Esa. Hati yang hanya mengenal politheisme: menyembah tiga tuhan, pepohonan, bebatuan dan roh nenek moyang. Sungguh gelap hati itu. Ia kemudian diterangi oleh cahaya tauhid-Nya. Allah itu satu:

"Fa'lam annahu laailaaha illa l-Allah" (Ketahuilah bahwa Allah itu satu). (Qs. Muhammad [48]: 19).

Ketika jiwa manusia mengembara di hutan ke-jahiliyah-an, Allah menurunkan cahaya-Nya, Al-Quran. Ia titipkan cahaya-Nya (Al-Quran) itu kepada cahaya-Nya (nabi Muhammad saw). Al-Quran adalah cahaya Allah, karena ia memberikan cahaya hidayah dari langit:

"...tetapi Kami mejadikan Alquran itu cahaya; yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami..." (Qs. Asy-Syura [42]: 52).

Kanjeng Nabi adalah "cahaya Allah", karena ia membawa penerangan kepada manusia: dengan hidayah yang dibawa dari sisi "cahaya agung", Allah swt:

"Dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi..." (Qs. Al-Ahzab [33]: 46).

Tidakkah orang Arab adalah orang-orang primitif: buta aksara dan chauvistik dan suka membangga-banggakan nenek moyang. Mereka adalah para penghuni gurun pasir yang terbelakang. Namun ketika cahaya Allah (Muhammad) itu datang, semuanya jadi berubah. Padang pasir pun berubah menjadi "sumber cahaya kebenaran". Dari sanalah memancar cahaya tauhid ke seluruh penjuru dunia.

Hati yang diterangi oleh cahaya Alquran adalah hati yang "bercahaya". Jiwa yang mengikuti petunjuk Nabi saw adalah jiwa yang "bersinar". Akal yang berpikir dengan positif dan sehat, adalah akal yang bercahaya. Hati yang masih menyimpan dendam kesumat, dengki, iri dan hasad adalah hati "jahiliyah": hati yang masih gelap. Jiwa yang masih suka memberontak kepada kebenaran, menentang kebijakan, tunduk kepada hawa nafsu dan suka menentang Allah, adalah jiwa yang masih jauh dari cahaya Allah.

Kita bersyukur tidak masuk kepada golongan Abu Jahal dan Abu Lahab cs. Mereka begitu dekat dengan kedua cahaya itu (Alquran dan nabi Muhammad saw), namun mereka tidak dapat merasakan sentuhan cahayanya. Mereka mengatakan bahwa Alquran adalah perkataan penyair: Muhammad. Mereka mengira bahwa Muhammad adalah tukang tenung. Mereka dicela oleh Allah karena hati mereka tidak cukup luas untuk (dapat) menampung kedua cahaya itu:

"Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al-Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung, sedikit sekali kamu yang mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada yang mendustakan(nya). Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). Dan sesungguhnya Alquran itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Agung." (Qs. Al-Haqqah [69]: 40-52).

Siapa yang menjauhi cahaya Allah, ia akan semakin teralienasi dari cahaya kehidupan. Siapa yang semakin jauh dari Alquran dan petunjuk Nabi saw, ia tidak jauh beda dengan Abu Lahab dan Abu Jahal cs. Bukankah Alquran adalah cahaya yang dipersembahkan oleh Allah kepada kita? Tidakkah Nabi saw cahaya: yang membawa cahaya (Al-Quran) langsung dari sumber cahaya (Allah)? Tidak ada cahaya yang mampu menerangi kegelapan jagat-raya, selain Allah. Dia-lah cahaya langit dan bumi.

Mari kita persiapkan diri kita untuk menghampiri cahaya Allah. Mudah-mudahan kita diberi kemudahan untuk menerima pancaran siraman cahaya-Nya. Semoga cahaya itu dapat bersinar terang di hati dan jiwa kita. Sehingga ia benar-benar menjadi "pelita" dalam kehidupan kita.

Wallahu a'lamu bi al-shawab.

Mengenal Allah Lewat Dzikir

Kalau kita ingin mengenal kehebatan seorang arsitek, cara terbaik adalah dengan melihat bangunan yang dirancangnya. Kalau kita ingin mengenal kehebatan seorang pelukis, maka kita bisa melihat seberapa bagus kualitas lukisannya.

Begitu pula bila ingin mengenal kebesaran Allah, maka kita bisa melihat kualitas ciptaannya. Apa ciptaan Allah tersebut? Itulah alam semesta yang tercipta dan Alquran yang tertulis. Ada dua cara untuk mengenal kebesaran Allah, yaitu melalui pikir dan zikir. Pikir lebih berkaitan dengan aspek nalar. Semakin seseorang memahami ciptaan Allah, maka akan semakin sadar pula akan kebesaran Allah.

Karenanya, Alquran berulangkali merangsang manusia untuk terus memikirkan semua itu. Beberapa ungkapan Alquran yang menujukkan hal tersebut, la'llakum tattaqun, la'allakum tadzkurun. Maksudnya Allah menyuruh manusia untuk melihat, merenungkan, dan mengkaji semua ciptaan-Nya. Bahkan Prof Ahmad Salaby menyebutkan bahwa seperlima kandungan Alquran berisi petunjuk agar manusia bisa mengkaji alam ini.

Kedua, manusia tidak cukup hanya mengembangkan pikir. Manusia pun perlu zikir. Tanpa zikir manusia bisa memiliki, tapi ia tidak akan menikmati. Manusia bisa sukses, tapi ia tak akan bahagia. Maka, Alquran pun mendorong kita untuk mengembangkan kemampun zikir. Zikir bisa dilakukan dengan jalan merenungkan dan menyebut kebesaran Allah.

Bila kita mampu mengembangkan dan menyeimbangkan dua hal ini dengan baik, maka kita layak disebut ulil albab. Dalam QS. Ali Imran: 190-191 disebutkan karakteristik dari ulil albab.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka"."

New Search